A BIG WELCOME FROM WARSYI

selamat datang di blog LADESTA,,,,,,,,,,,,,,,
ini adalah salah satu blog Alumni PP. Nurul Haramain NW Narmada
maaf jika dalam blog ini banyak kekurangan dan belum sempurna,,,,,,

Sunday, August 28, 2011

TGH HASANAIN DJUAINI MUKHTAR MEMAJUKAN PONPES NURUL HARAMAIN

MATARAM – 31 Agustus 2011 mendatang, bertempat di Manila Filipina, Ketua Yayasan Perguruan Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan yang membawahi Nurul Haramain (Ponpes NH) Putri Tuan Guru Haji (TGH) Hasanain Juaini, 47 tahun, akan memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay.
Ini adalah bentuk keberhasilannya yang diberikan oleh Alternative Indigenous Development Foundation (AIDFI) , Inc.dalam mengelola pendidikan Ponpes NH Putri yang didirikan sejak 1996 dan pelestarian lingkungan yang dilakukannya sejak lima tahun yang lalu. Sebelumnya, ia sudah berhasil menghimpun 130 ponpes di daerahnya dalam koalisasi anti korupsi.
Tahun 2011 ini, selain Hasanain Juaini yang memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay adalah Harish Hande (India), Koul Panha (Cambodia), Nileema Mishra (India), Tri Mumpuni (Indonesia). AIDFI memilih Hasanain Juaini dengan Ponpes NH Putri karena pengakuannya terhadap sikap dasar Hasanain Juaini yang membentuk komunitas berbasis pendekatan pendidikan pesantren, kreatif mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender, kerukunan beragama, pelestarian lingkungan, prestasi individu, dan keterlibatan masyarakat di kalangan muda Indonesia dan masyarakat.
Ponpes Nurul Haramain didirikan oleh orang tuanya almarhum Juaini Muchtar, 1952. Namun waktu itu masih tradisional. Kemudian sebagai lembaga pendidikan modern secara bergantian didirikan Ponpes NH Putra (1992) dan Ponpes NH Putri (1996.
Saat ini, jumlah semua santriwati Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 554 orang. Santriwati Madrasah Tsanawiyah 318 orang yang terdiri dari kelas satu sebanyak empat kelas, kelas dua (3), kelas tiga (3). Selebihnya adalah 2336 orang santriwati MA kelas satu (3) , kelas dua (3) dan kelas tiga (2). Di MA ada jurusan IPA dan Bahasa. Di lingkungan kompleksnya, ia menyiapkan 18 spot akses internet untuk keperluan belajar di ruang kelas dan juga santri yang memiliki laptop.
Sebenarnya, latar belakang pendidikan Hasanain adalah Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Mataram (FH Unram) tahun 2006, LIPIA Jakarta (1995), SLTA, KMI Gontor, Jawa Timur (1984), MTs. NW Narmada, Lombok Barat, NTB (1978), Madrasan Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Tanak Paruh, Narmada, Lombok Barat, NTB (1975). Namun, sebagai pengelola lembaga pendidikan, Hasanain Juaini memiliki terobosan di bidang pendidikan yang bisa disebut sebagai perintis di NTB.
Seorang pengajar Biologi di sana, Yusuf, menjelaskan bahwa idenya keras, terkadang tidak secara langsung dipahami. ‘’Beda pentium dengan kami,’’ kata Yusuf menilai ketrampilan inovasi Hasanain untuk kemajuan ponpes yang dipimpinnya.
Bendahara pondok, Mariani, 25 tahun mengatakan kesannya terhadap Hasanain adalah sebagai pekerja keras. ‘’Tetapi orangnya supel ramah untuk semua orang, bersahabat,’’ kata Mariani yang juga alumni MTs dan MA di sana. Selebihnya, Mariani yang berasal dari Dusun Kelana Sintung Pringgarata Lombok Tengah sejak 1998 menyelesaikan studinya jurusan Bahasa Indonesia di STKIP Hamzanwadi Pancor Lombok Timur. Disebutnya kemudian oleh Mariani, program penghijauan Lembah Madani (Lembah Suren) yang luasnya 36 hektar. “Dulu orang ragu. Ternyata dengan kerja keras bisa sukses menghijaukan tanah tandus,’’ ujar Mariani.
Ia juga memberangkatkan para santriwatinya lebih dulu belajar bahasa Inggris selama 3-4 bulan di Pare Kediri Jawa Timur. Hasanain mengaku sebagai program potong kompas yang dikutipnya dari istilah Accelerated Learning. Menurutnya, bagamainana memperlakukan anak didik sesuai kapasitas potensi anak. Bukan anak yang dipaksakan sesuai program guru. ‘’Tapi program lah yang mengapresiasi,’’ ucapnya.
Di sana pula, Hasanain membuka kesempatan para santri dan santriwati untuk menjalani ujian kapan pun sewaktu merasa siap. Jadi, misalnya enam bulan lagi semester santrinya minta ujian terlebih dahulu dan lulus berarti setelah itu tidak perlu masuk kelas. Pertanyaannya lalu untuk apa kekosongan waktu mereka? ‘’Itulah kami berpikir mengirim ke luar daerah,’’ katanya.
Dan pertama kali saat itu, ditentang oleh pejabat pemerintah dan para kepala sekolah atau pemimpin pondok yang lainnya. Alasannya yang menentang, kenapa sampai empat bulan meninggalkan sekolah. ‘’Ternyata begitu mereka pulang dari luar daerah, banyak yang mereka dapatkan,’’ ujarnya. Di sana mereka juga adaptasi dengan santri lain yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam banyak hal membawa efek yang baik. Sekarang 4-5 tahun terakhir ini hampir semua sekolah mengikutinya. Misi dasarnya, karena di pondoknya tidak banyak anak Indonesia di sini maka anak-anak di sini perlu keluar.
Soal pembiayaan bukan karena orang tua santri semuanya mampu. Ia mengatakan sebagai mazhab yang berbeda terhadap pembiayaan pendidikan. Ia mengingatkan agar tidak diperseterukan antara pendidikan dengan biaya. ‘’Itu berbahaya, berarti mematerikan. Padahal Islam menuntut belajar itu ibadah,’’ ucapnya.
Perihal kepeduliannya terhadap konservasi alam, ia menyebutkan sudah menghasilkan bibit tanaman mahoni 64 ribu batang, Gamelina alias Jati Putih 110 ribu batang, Albasia alias Sengon Laut 5 ribu batang, Lumpang alias Randu Alas 1.000 batang. ‘’Apa yang membuat saya gelisah? Sebetulnya ya sederhana,’’ katanya.
Ia mengutip Al Qur’an mengenai dua amanah penciptaan, yaitu memelihara melestarikan alam dan sekaligus di atas alam yang lestari itu sekaligus melakukan ibadah. ‘’Duanya saling ikat. Tidak bisa salah satu saja,’’ ucapnya. Kemudian ia menunjuk banyaknya orang yang berbuat maling padahal berada di pulau seribu masjid. Ini bisa terjadi karena kondisi sosialnya kekurangan. Tidak dirasakan kebebasan tidak dirasakan kesejahteraan atau keadilan. ‘’Ya pasti ngawur saja masyarakatnya,’’ ujar Hasanain di Ponpes Nurul Haramain Putri.(*)
Dikutip dari Lomboknews.com Jum'at, 19 August 2011 •

KESABARAN KELAS SATU (oleh Abun Hasanain)

(In Memoriam H. M. Djuaini Mukhtar)

Dari sekian kualifikasi Kenabian yang wajib ada pada diri pejuang adalah KESABARAN. Tanpa itu pejuang itu akan runtuh dengan mudahnya di depan tantangan dan cobaan. Namun sebaliknya jika kesabaran itu sudah dimiliki, maka cobaan bisa menjadi penambah semangat bahkan bisa menjadi hiburan. Setiap kesusahan menjadi seperti bisikan Ilahi: " Hai karena AKU tahu kamu kuat, maka KUberi cobaan seperti ini"

Ibu saya pernah berkata: "hanya untuk belajar mengejar tingkat kesabaran mamikmu itu, aku harus menghabiskan usiaku dengannya. Setiap derita yang menimpa kami seakan ujian kenaikan tingkat yang harus kujalani. aku tidak mau gagal"
Bahtera rumah tangga Muhammad Djuaini dan Djahrah ini layaknya sebuah aquarium dengan dua ikan yang digelayuti ikan-ikan kecil yang kesemuanya diajak berenang didalam air penderitaan.

Saya akan mulai thema kesabaran ini dengan kasus-kasus yang kalau saya sendiri mengalaminya mungkinn saya akan terkapar ditengah jalan kehidupan. Tidak tahu kalau pembaca sendiri, cobalah kita ukut sejauh mana nanti kita bisa menandinginya.

BETULKAH ANAK-ANAK ITU HIBURAN?

Mari kita telaah kisahnya semampu saya menguraikannya:
Mula-mula rumah tangga M. Djuaini dan Djahrah yang dipertemukan dalam medan juang tanpa bekal apapun selain mentaati guru yang mengirimnya ke Narmada, Orang tua mereka yang miskin-miskin yang menyerahkan mereka bulat bulat kepada masyarakat Desa Tanak Beak.

Kehadiran anak adalah pelipur lara bagi keluarga seperti ini. Dengan iringan tawa ria dan rowah para jamaah disambutlah kelahiran Sakduddin nama putra pertama mereka. Inilah anak mungil yangg senyumannya dapat mencincang semua kesusahan mereka, lapar kekurangan makanan pada musim paceklik kala itu bisa diatasi. Namun hanya 4 bulan ketika Sakduddin mulai bisa tersenyum, anak itu diambil oleh Pemiliknya.

Setahun berikutnya lahir putri kedua, Lagi-lagi Allah hanya memberi masa indah keluarga perantau itu hanya dua bulan saja. Kini kelahiran anak ketiga Sudah penuh dengan bayang kematian. Ayah saya pernah menceritakan bahwa ibu saya itu nyaris sembilan bulan waktu hamil hanya menangis saja; jangan-jangan anak dalam kandungan ini akan meninggal dalam masa kanak-kanaknya yang lucu dan menghibur. Benar saja. anak laki-laki itu sudah berumur dua tahun, sangat putih kulitnya (ikut ibu) dan seperti menunjukkan kepandaian dan bakat menjadi guru seperti ayahnya. Tahun 1957 waktu itu, musim cacar datang memupus harapan mereka untuk dapat mempertahankan nyawa anak itu.

Perlu waktu dua tahun, dan dengan berbagai usaha penguatan keimanan dan penguatan semangat, sampai-sampai ibu saya dititipkan kembali untuk bersekolah di Pancor agar memiliki keberanian untuk melahirkan lagi. Memiliki anak? Tentu tidak ada keluarga normal yang tidak menginginkannya. Tapi kalau hanya untuk dilahirkan, tersenyum dan tertawa lalu berlari dan kemudian mati??? Siapa yang mampu menjalaninya.

Ayah saya bercerita bahwa para murid-murid dan tetangga bergiliran diminta datang menghibur dan meyakinkan. Akhirnya dengan Bismillahirrahmanirrahim, ibu saya dengan tawakkal kepada Allah memutuskan BERANI.
Singkat cerita anak ke empat dan kelima sama saja. Allah SWT yang maha tahu apa maksudnya, namun seperti telah memberikan TAQDIR MENDERITA bagi kedua pasangan suami istri itu. Ya kedua anak-anak mereka secara berutun juga meninggal diusia lucu-lucunya. Allahumma Ya Allah. Demikian ibu saya bercerita: " kami ikhlas jika anak-anak ini kelak bisa menyelamatkan kami dari neraka. ambilllah sesuka Engkau Ya Allah. Engkaulah Pemiliknya".

Do'a-do'a ataupun kata seperti begitu, kenang orang tua saya, hanya gampang diucapkan dengan mulut. Tapi menjalaninya dalam kenyataan seolah seperti menghadapi hantu-hantu. Kalau saya mengajar di kelas tentang kesabaran, maka terbayang seperti saya sedang menantangg Allah untuk mematikan anak-anak yang akan kami lahirkan. Kalau dalam pengajian saya membahas masalah sabar, seakan ada senyuman diatas sana yang berbisik: "betulkah katamu itu?Menyuruh orang untuk bersabar?". "Apalagi kalau ada jamaah yang kesusahan lalu datang meminta nasihat kami, maka seakan setiap nasihat yang kami sampaikan menusuk nusuk diri kami sendiri."

"Setalah itu kami berdua nyatanya belum berani untuk memiliki anak lagi. Kami memilih untuk mengambil putra putri keluarga untuk kami pelihara. satu, dua tiga bahkan enam orang". Sampai para tetangga yang sat ini masih masih hidup dan menjadi saksi mata menceritakan bahwa sejak saat itu rumah (pondok pinjaman) keluarga Djuaini & Djahrah tidak pernah kurang dari 18 penghuni. Keluar masuk entah anak saudara, tetangga atau anak mondok. Semua diperlakukan sama seperti anak2 mereka sendiri.

Tahun 1966 an, saat genting-genting PKI mulai reda, keberanian memiliki anak muncul. "Kami yakin" kata ibu saya, bahwa setelah belajar mengasuh banyak anak dengan baik, Allah SWT akan berkenan memberikan kami anak dari dalam rahimku sendiri. Alhamdulillah keyakinan itu benar adanya"

Lahirkahlah kakak saya nomor lima dan diberi nama HUDAN yang berarti Petunjuk atau hidayah.

Setahun, dua tahun, tiga tahun dan sampai Hudan masuk sekolah. . .Tidak terjadi apa-apa. Alhamdulillah hati pasangan guru madrasah itu mulai lapang. "Allah sudah berdamai dengan kami" Begitulah biasanya kami membtahin setiap melihat Hudan yang dengan lacar berpidato dalam selingan-selingan deklamsi, baca puisi, hafalan ayat2 pendek di Majlis Taklim berbagai desa yang kami asuh (Mambalan, Gerung, Sekotong, Dasan Tapen, Mentaram, Sintung, Pringgarata dll). Tiga orang misannya digandengkan dengannya karena mereka sebaya dan memang senang tinggal di tanak Beak yang mulai semarak dengan Agama. Lalu Mursidin putra bibik saya dari Punie. Mazidi Putra Bibiknya saya yang di Belencong, satu lagi Sakkaki putra misan ayah saya dari Pancor.

Kejadian dibawah inilah yang sebelumnya saya katakan bahwa mungkin kita-kita ini tak memiliki kelas untuk menyamai kesabaran pasangan suami istri pejuang itu. Suatu hari, Lalu Mursidin, Mazidi dan Sakki juga Hudan, sebagaimana anak-anak seusia mereka bermain diseputar kampung. Mereka berempat berjalan-jalan kaki sampai kebablasan memutuskan untuk melihat-lihat kota Narmada.

Disamping sebelah selatan jalan Negara sepanjang Desa Lembuak, seperti keadaannya sampai sekarang ada kali kecil yang berair sangat jernih karena merupakan pembuangan dari mata air di Taman Narmada. Tepat di posisi bengkel sepeda H. Mustamin, mereka berempat turun ke kali itu untuk berwudlu karena mendengar Azan zohor berkumandang.
Hanya Allah SWT yang Maha bijaksana yang tahu rahasianya, sebuah Mobil Jeep warna hijau tentara sekonyong-konyong berbelok mengarah ketempat Hudan sedang berwudlu. Terjadilah apa yang sudah terjadi Innalillahi wainna ilaihii rajiun, anak harapan itu diambil juga oleh pemiliknya. Ketiga anak-anak yang tersisa ditepi kali itu, Sakkaki, Mursidin dan Mazidi terpana saling berangkulan dan pingsan karena melihat saudaranya yang lebur digulung roda mobil jeep itu. Di kemudian hari ketika misan2 saya itu bercerita bahwa bahwa kai menjerit melolong lolong: " mengapa bukan saya ........saja......tidak saya sajaaaa yang ditabrak"

Ayah ibu saya tidak pernah sampai bisa mendetail menceritakan suasana hati beliau saat saat menerima khabar kematian kakak saya itu. beliau berdua hanya akan mendongak sangat lama kalau ditanya tentang hal itu. Seolah-olah berusaha memasukkan kembali air mata yang memaksa muncrat keluar.

Yang bisa beliau ceritakan adalah bahwa setelah beberapa jam dari mendengar peberitahuan dari rumah sakit. Ayah saya pertama-tama mengambil air wudlu, shalat dua rakaat lalu berangkat naik sepeda merek phoenix ke kantor Polisi, Beliau menemui sopir jeep yang menabrak putranya itu. beliau merangkulnya, memeluknya dan mengatakan pada dia:" Saya yakin kamu tidak sengaja. Kamu tidak sengaja. Maka saya akan membuat pernyataan bahwa saya tidak keberatan dan tidak menuntut apapun darimu. saya akan meminta agar kamu dibebaskan segera.

Hudanpun dimakamkan layaknya seorang pahlawan, Banyak sekali tentara yang datang berbela sungkawa. Dalam sambutannya, sang komandan mengatakan bahwa : " Seandainya kami mengalami hal semacam ini, belum tentu mampu membuka pintu maaf bagi orang yang membunuh anak kami sendiri".

Demikian seri sabar pertama dari kesabaran Al-Marhum H. M. Djuaini Mukhtar.
CUCU PELIPUR LARA
Surat Alam-Nasyrah adalah Surat Pavorit orang-orang yang ditimpa kesusahan berat. Termasuk juga keluarga H. Muhammad Djuaini dan HJ. Djharah ini.
Bayangkan saja firman Allah: "Inna Ma'al 'usri yusro" Sesungguhnya dibalik kesulitan itu kemudahan. bahkan diulangi dua kali.
setelah meninggalnya Putra beliau Hudan, keadan rumah tangga memang seperti membaik, hampir dalam semua bidang. Beliau dapat membuat rumah sendiri. Bisa membli beberapa petak tanah. begitu juga pendirian Madrasah lancar.
Di bawah almarhum Hudan ini, ada seorang anak perempuan ( Luthfiatun ), lalu saya sendiri (hasanain) anak ke delapan. Al-hasil perasaan kecewa dengan meninggalmya anak-anak seperti sudah terbayar dengan kelahiran sampai yang ke 14 orang. Semua dari satu rahim Hj. Jahrah.
Seperti biasa, siapapun orang yang beranjak tua, ingin menimang cucu, hendaklah cucu pertama itu laki-laki. Ini normal bukan diskriminatif. Memastikan kelangsungan keturunan adalah diantara maksudnya.
Luthfiatun melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Aulia Mujiburrahman, mungkin H. Djuaini terinspirasi dan ingin agar cucunya ini menjadi seperti Mujiburrahman almarhum Perdana Menteri dan juga Presiden Bangladesh kala itu.
Tidak meleset harapan beliau, anak itu cerdas dan sangat pekerja keras dan sifat paling lekat dengan kakeknya adalah anak ini luar biasa pemurahnya. Setelah cucu kesayangan ini tamat sekolah di Pondok pesantren, seperti tidak bisa dibendung, dia pulang ke kampungg orang tuanya di Denggen, Sakre, Lombok Timur. Dia datangi keluarganya yang kaya-kaya dan minta dibelikan sebuah bukit gundul yang kering kerontang tidak berair.
Satu waktu anak saudara saya ini datang berkonsultasi: "Paman, saya minta ijin, saya akan pulang kampung dan akan bangun pondok pesantren, dan akan kalahkan pondoknya paman ini. saya minta bangku-bangku yang rusak. komputer-komputer afkir digudang itu. Juga saya akan bawa beberapa karung benih tanaman dan polybag untuk saya kerjakan sebagai selingan"
Dalam hati saya berteriak gembira, Inilah semangat Kian Santang. Mental Jayme Escalante. Saya rangkul dia lekat di dada: Bismillah anakku, kerjakan dan yakin berhasil. Demikianlah cucu harapan ini sudah menjadi pelipur lara bagi kakek dan Neneknya yang sejak tahun 1952 seperti tak pernah bebas dirundung kesedihan.
Jabal Rahmah nama Pondok Pesantren yang bertengger di Puncak sebuah bukit bebatuan di Dusun Denggen, Sakra. Jelas sekali, Mujiburrahman telah menyerap apa yang dia lihat dan alami selama dididik dirumah kakek neneknya yang penyabar dan ulet. Bahkan dia punya kelebihan "sangat kocak".
Dalam beberapa bulan pesantren itu telah didatangi, camat, bupati bahkan Gubernur. Jabar Rahmah mempelopori penanaman pohon-pohon pelindung hampir diseluruh tepi jalan aspal di kecamatan Sakra. Gunung yang penuh semak itu telah mulai rindang dengan pohon mahoni, jati dan nangka. Cerita masyarakat sekitar " Ustaz Mujib menanam beribu ribu pepaya di manapun dia menemukan lahan kosong, juga dipinggir jalan" Konon pesannya hanya satu, nanti kalau berbuah makanlah biar kalian sehat. Satu kalimat yang bisa saya ucapkan untuk itu: Luar biasa cucu yang satu ini.
Seberat apapun tugasnya di jabal Rahmah, namun dia tidak mau meninggalkan tugasnya membantu kami di Nurul Haramain Narmada. Biasanya dia datang sekali seminggu, dia biasa berangkat jam dua belas malam menggunakan sepeda motor.
Perubahan dramatis yang terjadi adalah sanak keluarga ayahnya di Denggen yang terkenal kaya-kaya namun agak saling berenggangan menjadi bersatu padu. Gelar-gelar yang disandangkan msyarakat pada mereka seperti Cina Hitam atau toke-toke melayu berubah menjadi ustaz-ustazah, keluarga guru dan pendidik. Pamannya yang terkaya bernama H. Lalu Mungguh bahkan saking syukurnya mengatakan: Apapun akan kami lakukan untuk mendukung Mujiburrahman. Majulah anakku!
(Maafkan. Saya sebetulnya tidak mampu melanjutkan cerita ini. namun sudah kepalang tanggung. Untuk mengenang Ayahanda H. Muhammad Djuaini dan cucunya yang jumawa itu: Mujiburrahman (sayang).
Kebiasaan berangkat malam-malam dari Denggen ke Narmada, naik sepeda motor itulah yang menjadi gerbang prahara besar untuk semua keluarga kami dari semua pihak. Cinta dan pengharapan yang begitu besar, akan lahirnya Djuaini muda di sebuah dusun yang selama ini jauh dari agama sudah benar-benar menjadi nyata. Saat itu, saya tengah mengajar di majlis Taklim saya mendengar pengumuman di Load Speaker Masjid Nurur Rahim Tanak Beak : " Inna lillahi wainna ilaihi roji'un, telah meninggal dunia Aulia Mujiburrahman, Cucu Tuan Guru Djuaini Mukhtar .. . . ."
Kami semua lemas lunglai, tidak kecuali manusia paling tegar dan sabar yang kami kenal yaitu kakeknya sendiri, Ya. H. Djuaini Mukhtar. (Maafkan, saya tidak akan menceritakan keadaan duka lara saat itu) biarlah menjadi kenangan mereka yang melihatnya langsung saja. mari kita ucapkan Inna lillahi wainna ilaihi ro'jiun.
H. Muhammad Djuaini, ayah saya yang saat itu sedang menjalani operasi pengankatan sebelah ginjalnya, minta dipapah untuk pulang mengikuti pemakaman cucunya itu. Saat itulah beliau berpesan: "Biarlah kesenangan untukku tidak di dunia ini. Biar di akhirat saja. Allah ...Allaaaaaaah humma Allah."
"Nanti di kubur kamu (hasanain) yang memberikan ta'ziah. sampaikan pada jamaah, Mujiburrahman ini adalah perwujudan do'a do'aku, semua yang kuminta tentang dia dikabulkan Allah." sekedar menghibur saya sambut "Enggih mamik, enggih"
Namun dalam hati, saya mengira beliau mengatakan " semua permintaan untuk anak ini dikabulkan Allah SWT kecuali satu hal saja. DIA yang Maha Kuasa tidak berkenan memberinya umur lebih dari 24 tahun." kejadian itu pada 4 Februari / 2004. Seperti hendak mengikuti cucunya, beliau menitip potongan ginjal bekas operasi dikubur berdekatan.
Sungguh dibalik kesusahan itu ada kesenangan. Namun orang sering melupakan kebalikannya bahwa Tentu saja dibalik kesenang itu telah menanti kesusahan. Subhanallah.
TAK PERLU DISESALI

Nomornya 200, mudah dihafal. Ayat pada Q.S. Ali Imran:
“Wahai Orang-orang yang beriman bersabarlah dan teruslah bersabar, lalu tetaplah di dalam kesabaran itu. Bertaqwalah agar kalian mendapat kemenangan.”

Secara kasat mata dari ayat tersebut kita memahami ada tiga tingkat kesabaran. Siapa tahu itulah dasar inspirasinya sehingga ada P.Hd. dalam kesarjanaan intelektual. Wallahu a’lam.

Maafkan. Sebetulnya akan lebih nyaman hati saya kalau yang menceritakan hal ini adalah pihak ketiga namun bertahun-tahun tidak kunjung ada yang menulisnya. Maka sekali lagi saya mohon ijin menceritakannya untuk kita. Semoga ada manfaat yang bisa kita petik.

Saya mulai kisahnya dari bandara Selaparang (yang sebentar lagi akan ditutup), saat itu tahun 1990, Ummi Hj. Djahrah dalam keadaan tubuhnya yang tertimpa stroke dan hanya aktif di bagian sebelah kanan saja. Dalam hal stroke ini dengan ringan beliau berkomentar:” Alhamdulillah yang kanan yang masih bisa digunakan”.

Saya mencium pipinya yang sudah mulai keriput dan lalu telapak kakinya dan akhirnya telapak tangannya. Saya berpamitan untuk pergi sekolah ke LIPIA Jakarta bersama anak istri saya. Dengan tawa agak tertahan beliau berpesan: “ 14 orang anak lahir dari rahimku kini tak seorangpun tinggal bersama kami dirumah, justru disaat kami sudah tua. Seandainya tidak untuk kebahagiaan kalian tentu aku tidak rela ditinggalkan kesepian berdua dirumah”

Diujung jemarinya yang lemah, beliau menyelipkan sebiji buah LEKONG (kemiri) dan dipindahkan ke telapak tangan saya diujung saat bersalaman tersebut. Di pesawat saya meraba makna biji lekong itu. Oooo rupanya ini bentuk pelajaran dengan sindiran. Ini merujuk pepatah Sasak: “ bebao bawak lekong, tao-tao BESEMETON” artinya kurang lebih: pandai-pandailah kalian bersaudara. Sindiran biji Lekong itu cukup bagi saya selama lima tahun di Jakarta untuk tidak berani-berani menyakiti menantu dan cucunya yang sangat beliau sayangi.

Pendek cerita tahun 1995, tamatlah kuliah saya di LIPIA dan dengan tiket yang dikirim tiga hari sebelum wisuda saya sudah sampai kembali di rumah Tanak Beak.

Ini dia inti kisahnya. Baru masuk desa Tanak Beak, saya melihat kerumunan ratusan orang memenuhi halaman rumah dan sampai dalam kamar ayah saya. Mengetahui saya datang, orang-orang dengan mata sembab mundur dan memberi jalan untuk menemui tubuh yang lunglai penuh perban di sekujur kepala dan kedua tangan beliau.

“Mari sini…dekat…dekat, aku tidak apa-apa. Mana anak istrimu? Mana kitab-kitab yang kamu janji mau dibawa pulang itu. Katanya ada tiga kwintal banyaknya? “ Napas beliau tersengal dan pingsan lagi. Dokter di sampingnya mengajak saya duduk di korsi yang sudah tersedia. Saya terpana. Benar-benar tidak memahami apa yang telah terjadi. Para saksi mata bergiliran menceritakan saya apa yang telah terjadi beberapa hari lalu.

Di Tanak Beak Barat ini, ada seorang jagoan bertubuh kekar yang sangat terkenal sebagai pepadu presean, orang-orang menjulukinya Ampan Lolat. Umurnya saat itu kira 38 tahun lagi kuat-kuatnya kalau untuk berkelahi dan bergelut.
Konon ,Naam, nama orang itu mengalami prustasi akibat perceraian talaq tiga dengan istrinya, yang kemudian kawin dengan laki-laki lain. Sebenarnya dia mau melakukan Cina Buta (istilah sasak untuk orang yang kalau bercerai talaq tiga, akan membayar laki-laki lain untuk mengawini bekas istrinya dengan perjanjian akan segera diceraikan sehingga suami pertama itu dapat kembali menikahinya) Sayangnya suami istri yang diharap menjadi cina buta ini justtru memilih untuk tidak bercerai. Maka gila lah si Naam ini.

H. Djuaini Mukhtar yang rutin mengimami shalat lima waktu di Masjid Nurur Rahim, entah karena apa menjadi sasaran kegilaannya. Namun masyarakat tidak tinggal diam. Mereka bergantian melakukan pengawalan dengan menjemput antar ayah saya untuk menjadi imam. Pak Camat, bahkan Pak Bupati HL. Mudjitahid turun tangan meringkus si gila itu dan menitipkannya di rumah sakit jiwa Selagalas. Usaha perlindungan ini justru menambah dendamnya sehingga berkali-kali bisa menerobos penjagaan dan pulang lalu mengincar H. Djuaini untuk dibunuh. Namun H djuaini percaya dengan ikhtiar penjagaan yang dilakukan jamaahnya. Beliau tetap tenang dan Pasrah melaksanakan tugasnya.

Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak, suatu pagi, bakda subuh, tanpa sepengetahuan masyarakat, si Naam ini ternyata meloloskan diri dari Selagalas. Ia pulang malam hari dan mengendap dibalik tembok sebuah rumah yang berada dipinggir jalan di depan Masjid. Di saat H Djuaini keluar dari Masjid tanpa pengawalan jamaah, maka dengan segala kegilaan dan kekuatannya si Naam itu menghantamkan kayu sebesar betis kearah kepala sampai retak, tengkuk dan tangan kanak sampai patah. H. Djuaini tersungkur dipinggir jalan itu dan terus menerus dipukuli bertubii tubi. Sampai para ibu-ibu berteriak histeris yang membuat banyak orang datang dan meringkus orang gila itu.

Dengan sisa-sisa tenaganyanya H Djuaini masih bisa berucap: “ Dia dia …tid..tidak waras. Saya maafkan. Saya ikhlaskan. Jangan diapa-apakan” beliau lalu memungut surbannya yang jatuh terkoyak dan berlumuran darah. Tangan kiri yang patah tak mampu mengangkat benda ringan itu, tangan kanan yang juga sempat dipakai menutup wajah ketika dipukuli hanya mampu bergerak sedikit. Surban itu jatuh lagi. Namun kedua kaki masih berfungsi. Itulah yang tersisa untuk beliau gunakan dengan tertatih pulang sambil berzikir sepanjang jalan yang hampir 600 meter jaraknya.

Kini saya sudah pulang dan duduk disampingnya, disamping ibu saya yang juga lumpuh sebelah.

Alhamdulillah tidak ada dendam. Kami semua menerima itu sebagai kehendak Allah yang ditimpakan ke atas hamba-hamba yang dipilihnya. H. Djuaini Mukhtar masih 14 tahun sejak saat itu, masih tetap dapat melanjutkann perjuangannya mengajar dan mendidik masyarakat yang dicintainya.

Masa-masa sakit seperti yang beliau yakini, adalah sebagai masa-masa pengurangan dosa dan sebagai zakat umur saja. Tak perlu disesali. Cita-cita harus tetap dikejar.

(Damai dan bahagialah ayahanda di alam barzah bersama ibunda dan cucunda tercinta)

PELAJARAN MENCINTAI (In Memoriam H. Djuaini Mukhtar) by Abun Hasanain

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

...Sebagai saksi pelaku, saya bisa secara singkat mengatakan bahwa Pasangan suami istri Djuaini Mukhtar dengan Djahrah keseluruhan dilalui dalam saling mencintai. Seumur hidup kami, anak-anak beliau tidak sekalipun melihat mendengar atau pernah tahu keduanya saling bersitegang suara.

Bukti paling nyata adalah ketika pada tahun 1987, ibu saya Hj. Djahrah mengalami stroke dan sebelah tubuhnya tidak dapat lagi digerakkan, sejak saat itulah H. Djuaini memandikan sendiri istrinya sampai sang istri meninggal tahun 1999

Selama 12 tahun H. Djuaini semakin memperlihatkan cinta kasihnya pada istrinya yang inpalid itu. Beliau membuat berbagai macam alat untuk mempermudah istrinya bergerak. Mukena khusus, sarung khusus, jilbab khusus sampai sandal khusus (semuanya serba berkaret agar mudah dipasang tampa perlu mengikatnya). Di sepanjang dinding kamar dan kamar mandi beliau buatkan pegangan agar istrinya itu bisa dengan mudah berpegangan kalau hendak berpindah-pindah tempat. Shower juga dipasang dibanyak tempat agar istrinya tidak kesulitan kalau membuthkan air terutama ketika harus meninggalkannya menjalankan tugad di luar rumah.

Kerap kali ibu saya itu, setelah strokenya, mengijinkan ayah saya untuk menikah lagi. Alasannya agar ada yang bisa mengurus beliau dengan lebih sempurna. Toh kata ibu saya, Laki-laki seperti beliau tidaklah meragukan untuk bisa berbuat adil. Tapi H. Djuaini selalu menjawab: Oh seandainya saya mau seharusnya tudak sekarang ketika istri saya sudah dalam keadaan begini. Inilah saatnya saya membuktikan bahwa saya memang pantas menjadi suami yang dia harapkan menolongnya disaat dia sudah lemah dan tua.

Saya selalu terngiang ketika suatu waktu di tahun 1968, masyarakat Desa Sintung datang berbondong-bondong meminta ayah saya untuk menikahi seorang gadis mereka; katanya agar ada anak keturunan mereka yang menjadi guru agama seperti H. Djuaini yang mereka hormati dan cintai. Saya tidak akan pernah lupa sebab sayalah yang beliau tawarkan untuk di bawa oleh siapa saja penduduk Desa Sintung untuk dijadikan anak, ketimbang beliau harus menikah lagi.

Jadilah saya anak angkat dari seorang wanita Sintung bernama Sukimin. Ibu angkat saya itu memang sangat cantik dan shalihah. Allah SWT. akhirnya menjodohkan Sukimin dengan seorang pemuda Tanak Beak sehingga saya masih tetap dapat berdekatan dengan ibu bapak saya sampai Sukimin meninggal dunia dengan sangat tenang (semoga beliau mendapatkan husnul khatimah). Ayah ibu saya bertindak cepat dengan mengambil seorang anak angkat dari Desa Sintung yang juga disekolahkan sama seperti kami anak-anak beliau sampai tamat SMA bahkan menjadi PNS. Namanya Nurimin.

Keajaiban di kemudian hari terjadi, karena Nurimin inilah yang diisyarakatkan oleh ibu saya untuk mengisi posisinya “ Nikahkan Ayah kalian dengan Nurimin ini jika aku nanti meninggal lebih dahulu. Hanya wanita yang sangat tahu kesulitan ayahmu yang dapat menjadi istri yang berbakti baginya”. Sebagai anak laki-laki tertua, sayalah yang meminang Nurimin ini untuk menjadi ibu tiri kami (tiga tahun setelah meninggalnya ummi Hj. Djahrah).

Sekarang kami sering berseloroh di majlis taklim Desa sintung: “Allah tahu keikhlasan niat ibu bapak dahulu untuk menikahkan H. Djuaini dengan wanita Sintung”. Kami saat ini memiliki seorang adik tiri yang kami cintai dan berdarah Sintung. Ia diberi nama Hafizurrahman –Pemelihraan Sang Maha Pencinta.

H. Djuaini, ayah saya itu mempunyai ayat pavorit dalam hal membalas cinta, Q.S. An-Nisa' 86: WAIDZA HUYYIITUM BITAHIYYATIN FAHAYYUU BI AHSANA MINHA AU RUDDUUHA = Jika kalian diberikan sesuatu pemberian, maka balaslah dengan yang lebih baik atau setidaknya dengan yang setimpal.

Wednesday, July 20, 2011

WAWANCARA TV9 DAN KORAN LOMBOK POST dengan Pimpinan PP. Nurul Haramain NW Narmada

Wtw : Apa froblem Bangsa kita menurut bapak?
HJ    : (1) Mentalitas, (2) Ethos kerja, (3) Wawasan (4) dan Daya tahan terhadap gempuran peradaban. ( Semuanya adalah bagian dari KEIMANAN ) 
Wtw : Apa langkah strategis Nurul Haramain dalamberkontribusi melawan problem tersebut?
HJ    : Menyadarkan diri sendiri, guru dan santri juga wali santri tentang problema2 besar itu. Insya Allah mereka hebat-hebat dan mampu menangkap makna-makna itu melalui kegiatan-kegiatan di Pondok.

Wtw : Contoh konkritnya?
HJ    :
a. Kita membagi setiap tahun sejuta bibit pohon gratis. Tahun lalu malah 1.6 juta
b. Mulai beberapa tahun lalu, kami mengirimkan ratusan santri setiap tahun ke jawa untuk belajar Bahasa Inggris, selain kemampuan berbahasa, kami ingin agar mereka meluaskan wawasan dan meningkatkan harga diri
c. Semua bangunan dikerjakan oleh para santri dan guru, agar ethos kerja mereka tetap tinggi
d. Mulai seminggu lalu telah dilaounching group-group pembuatan Klip-klip video untuk kritik sosial yang telah deal dengan TV lokal untuk ditayangkan. dimaksudkan agar para santri mengasah kepekaan sosial, sekalian cari modal hidup. Grup ini baru 20 orang, nanti kan terus ditambah.

KITA NOMOR SATU (status abun via facebook)

KITA NOMOR SATU
Assalamu'alaikum

Berikut lima pantai terindah yang diurutkan berdasar PALING MENARIK BAGI WISATAWAN hasil survey Kementerian Budaya dan Pariwisata:
1. Pantai Senggigi, Lombok
2. Pantai Kuta, Bali
3. Pantai Indah, Pangandaran
4. Pantai Parai Tenggiri, Bangka Belitung
5. Pantai Parangtritis, Yogyakarta
(Pasha Ernowo//nsa)

Insya Allah kita bisa membuat lagi ratusan yang seperti itu. Maukah anda turut berperan?
a. Kumpulkan biji Ketapang dan Jamplung (bisa juga dengan membayar orang untuk melakukannya. Murah kok 25 ribu sekarung)
b. Bawa/kirim ke Lokasi Green Nurul Haramain (Ponpes Nurul Haramain, Lembuak,Narmada,Lombok Barat)
c. Nanti di Musim Hujan, bibit sudah siap ditanam disepanjang pantai, kita bisa merancang acara super massal untuk melakukannya.
d. Bayangkan sejak sekarang, 3-4 tahun yang akan datang pantai-pantai yang indah dan teduh (Saat itu sepuluh nomor pertama urutan pantai terindah akan kita raih semuanya. Amiin)

Wassalam