A BIG WELCOME FROM WARSYI

selamat datang di blog LADESTA,,,,,,,,,,,,,,,
ini adalah salah satu blog Alumni PP. Nurul Haramain NW Narmada
maaf jika dalam blog ini banyak kekurangan dan belum sempurna,,,,,,

Monday, July 16, 2012

PERBEDAAN AWAL DAN AKHIR BULAN [Agar tidak salah kaprah]


Oleh   : TGH. Hasanain Juaini


Astagfirullah! Ternyata perdebatan tentang upaya penyatuan Awal dan akhir Ramadlan tidak sepenuhnya dimengerti latar belakang. Sehingga banyak statemen yang muncul menjadi salah kaprah alias semakin jauh kesalahan yang ditimbulkan.

Izinkan saya menyampaikan : 

A. MENGAPA TERJADI PERBEDAAN ITU? 

Meta theory 1:
Mula-mula, kita dilarang menyembah Allah [beribadah] selain dengan cara yang diperintahkan dan diberikan petunjuk olehNya [Al-Qur'an] atau oleh Rasul-Nya [Al-Hadits/Sunnah].

Meta theory 2:
Dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits, manusia menghadapi masalah, ada yang mudah difahami/shorih [ini namanya muhkamat, langsung bisa diterapkan] dan ada yang rumit bahkan sangat rumit [ini namanya mutasyabih] bahkan ada yang dikatagorikan mauquufun alaihi [hanya Allah yang tahu]

Theory 3:
Suatu perintah baik dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits ada yang WAJIB dilaksanakan sesuai dengan bunyi perintah itu, tapi ada yang berupa ANJURAN dimana manusia boleh berimprofisasi.

Dengan bekal ketiga Qoidah di atas, kita akan mengambil kesimpulan hukum dari:

1. Ayat "Faman syahida minkumu as-syahro, falyasumhu"
==Barang siapa yang MELIHAT [awal] bulan, maka hendaklah dia berpuasa Ramadlan.
2. Al-Hadits: " Suumuu liru'yaitihi, waaftiruu lirukyatihi"
==Puasalah kalian karena telah melihat awal bulan dan hentikanlah berpuasa apabila telah melihat akhir bulan.

***Jika digabungkan makna ayat dan hadits di atas, apa kesimpulan yang kita dapat?

a. Pendapat I: Ayat dan hadits itu adalah perintah WAJIB [sebab yang gunakan adalah kata ruk'yat yang berarti MELIHAT DENGAN MATA KEPALA], maka kita harus mengawali atau mengakhiri puasa Ramadlan setelah MELIHAT BULAN DENGAN MATA KEPALA;

b. Pendapat II: Ayat dan hadits itu [khususnya kata rukyat] tidak mewajibkan untuk melihat dengan mata kepala langsung, tapi boleh dengan alat dan kapanpun waktunya. Maka boleh saja dilakukan dengan perhitungan yang kita kenal dengan nama hisab. 

Nah. dalam perdebatan fikhiyyah, pengikut kedua pendapat itu selalu dapat menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya berdasarkan dalil yang secara syar'i memang bisa diterima. Sehingga jalan tengah yang muncul adalah "Selama berdalil dengan dalil yang brterima, maka ada kemungkinannya untuk benar, sehingga boleh mengambil salah satunya dan berlapang dada terhadap mereka yang berbeda AMBILANNYA dengan kita"

Kasus2 seperti inilah yang terjadi pada urusan qunut waktu subuh, membaca bismillah dalam fatihah shalat, memilih haji tamattu', ifrad atau Qiran. dll. Bedanya dengan masalah Puasa adalah karena kuatnya kaitan dengan ummat lain, dengan kebijakan2 sosial Pemerintahan dan sulitnya mengeliminir masalah ini untuk hanya dihadapi oleh kaum berilmu saja. Artinya, sekalipun dimungkin secara fikhiyyah untuk berbeda dan saling menerima perbedaan, namun BERSATU TETAPLAH LEBIH BAIK. 

Adakah bukti kita bisa bersatu dalam kasus-kasus seperti ini? Ada dan banyak:

a. Kita menerima HARI ARAFAH pada hari yang ditentukan oleh Ulama Saudi Arabia padahal ulama Saudi Arabia menetapkannya DENGAN RUKYAT [melihat dengan mata kepala, bukan hisab]

b. Kita menerima penetapan waktu dengan patokan Greenwhich dan kita menggunakan dalam Hisab menetapkan waktu shalat.

c. Kita menerima gandum diqiaskan dengan beras, selanjutnya kita terima beras bisa digantikan dengan uang waktu zakat fitrah.
====================
Kita memang belum membahas pelik-pelik sebab perbedaan faham disini, namun secara umum demikianlah akar masalahnya sehingga kita HANYA BISA BERHARAP PADA PERSATUAN NAMUN TIDAK BISA MEMAKSAKANNYA.

Memang pertanyaan besar masyarakat awam adalah: 
1. Apakah diperlukan pemaksaan untuk sebuah persatuan yang justru lebih baik? Atau...
2. Apa perlunya mempertahankan perbedaan padahal bersatu dimungkinkah secara hukum dan lebih baik pula 'akibatnya' bagi ummat secara luas?

AKHIRNYA, SECARA PRIBADI SAYA MENYATAKAN: WAHAI SIAPAPUN ANDA, APAPUN MAZHAB ANDA, HENTIKAN KESUKAAN BERBEDA ITU SELAMA ADA JALAN HUKUM UNTUK BERSATU. Serah penetapan hari H itu kepada sebuah lembaga yang bisa dipercaya. Saya sulit menerima alasan KONSISTEN PADA QAIDAH DASAR padahal saya tahu dalam masalah [ a, b dan c tersebut diatas] toh anda menerima juga untuk menyerahkannya kepada pendapat pihak lain.

Wassalam
Narmada, 26 Sya'ban 1433/ 16 juli 2012

No comments:

Post a Comment