A BIG WELCOME FROM WARSYI

selamat datang di blog LADESTA,,,,,,,,,,,,,,,
ini adalah salah satu blog Alumni PP. Nurul Haramain NW Narmada
maaf jika dalam blog ini banyak kekurangan dan belum sempurna,,,,,,

Friday, November 23, 2012

ASAL JANGAN ANAKKU

Oleh TGH. Hasanain Juaini
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sampah, residu atau orang Sasak menyebutnya "etak-etak" untuk mengungkapkan sesuatu bagian tidak perlu yang patut terbuang. Ada juga bahasa lebih kasarnya "dedoro" alias "periris". Yang terakhir ini dalah kata yang menjelma menjadi umpatan kotor kepada mereka yang keberadaannya justru semakin menyulitkan keadaan.

Kata dedoro yang berkonotasi "sampah" sering menjadi guyonan karena kedekatannya dengan kata "dedare". Jadi? Dedare [anak gadis] yang eksistensinya bagai periris julukannya dengan mudah diganti menjadi dedoro. he he he.

Tidak biasanya dalam sebuah amanat awal tahun di Pesantren, saya di interupsi oleh wali santri. Kejadiannya ketika saya menyampaikan amanat: ..." Lembaga pendidikan seperti juga para petani. Tidak semua benih bisa tumbuh baik dan berhasil baik memberikan panen yang membanggakan. Selalu ada etak-etaknya [sampahnya]. Oleh sebab itu . . . .jika kita berhsil mendidik 50% saja dari para santri ini, maka itu sudah keberhasilan yang luar biasa..." 

Mendadak seorang wali santri mengangkat tangan dan minta bicara. Setelah dipersilahkan dia lalu mengatakan: "Sebagai wali santri, saya bisa mengerti kalau nanti anak-anak ini ada yang gagal dan akhirnya menjadi residu atau etak-etak. Asalkan yang menjadi etak-etak itu bukan anak saya, silahkan...saya bisa menerimanya."

Serjak peristiwa itu saya mematok target bahwa pendidikan kita harus berhasil seratus prosen, karena tidak ada orang tua yang rela anaknya menjadi residu. Saya yakin kita juga demikian Titik.

Fakta yang tersaji dalam kerumunan sosial kita adalah selalu saja banyak etak-etak, bahkan terkesan lebih banyak jumlahnya, seakan yang kita lakukan adalah memproduksi etak-etak. Dari mana sebenarnya potensi-potensi hebat manusia menelikung menjadi gerakan susah payah memproduksi etak-etak?

Sungguh menyedihkan masyarakat NTB ini, dengan modal karunia Allah yang sama, namun mengapa dalam seni budaya, politik, ekonomi dan tingkat kesejahteraan kita selalu berada ditepi-tepi hirarki? Berada dibagian iris-irisan terakhir? Atau dengan kata umpatan orang-orang Tanak Beak "kita berada pada posisi periris?". Mana buktinya kita tidak menerima posisi keterpaksaan ini?

Wassalam

No comments:

Post a Comment