selamat datang di blog LADESTA,,,,,,,,,,,,,,, ini adalah salah satu blog Alumni PP. Nurul Haramain NW Narmada maaf jika dalam blog ini banyak kekurangan dan belum sempurna,,,,,,
Saya yakin, ketika Stan Lee dan Steve Ditko menulis bareng2 novel
mereka “Characters” tidak tercuil maksud untuk menginspirasi Sam Raimi,
sutradara film Spiderman yang menggemparkan dunia dan memaksa Academy
Award memberinya anugerah. Cantolannya saya kira hanya satu, karena di
dalam “Characters” ada disebutkan sejenis sifat manusia yang seperti
laba-laba. Sejenis karakter penuh kejelian, kecermatan, kesabaran namun
penuh tipu daya dan selalu menyediakan pit rescue celah penyelamat untuk
dirinya sendiri.
Al-Qur’an, seperti biasanya terhadap sesuatu
yang amat sangat dipentingkan manusia, selalu mengapresiasinya, maka
kita temukan ada surah khusus yang bernama “Surat Al-Ankabuut” alias si
laba-laba.
Belakangan ilmu pengetahuan modern melalui tangan
dua orang ahli Biologi : Fritz Vollrath dan Edward Tillinghast meneliti
seluk beluk serat sutra yang dihasilkan oleh laba-laba, dari sini lalu
ditiru kandungan zat benag laba-laba dan akhirnya dihasilkanlah benang
kevlar kemudian muncul ban panzer anti peluru dan direkayasa juga baju
anti peluru.
Pernahkah kita bertanya mengapa rumah laba-laba
bisa menjerat mati serangga lain tetapi pemiliknya aman-aman saja? Dia
bikin jerat tapi tak terjerat, sedangkan bangsa Indonesia membuat
undang-undang tapi mereka sendiri terjerat?
Fritz Vollrath dan
Edward Tillinghast menjelaskan bahwa laba-laba menyediakan beberapa
utas benang yang tidak mengandung lem/perekat sebagai jalur khusus
berlalu lalang. Laba-laba meninggalkan suatu area tanpa perekat sebagai
tempat menunggu mangsa dan beristirahat. Dia juga melumuri ujung
kaki-kaki berbulunya dengan sejenis minyak peng-imun.
Kini
mari kita perhatikan Bangsa kita ini. Mula-mula kita dengan alasan
patriotisme memilih untuk merebut kemerdekaan dan tak sudi diberi-kasih,
jadi ini lebih patriotik ketimbang negara-negara tetangga kita yang
commonwealth. Bung Karno bilang, kita pilih memerdekakan diri dan semua
resikonya akan kita jalani kemudian. Itulah kalimat yang muncul di dalam
text Proklamasi yang selalu dengan gagah dan lantang diteriakkan . . .
.”hal hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan
diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Jika saja Bung Karno melihat situasi kekinian
Bangsanya ini, pasti beliau akan mengamuk atau mencabut saja bunyi text
itu. Jika bunyinya diubah-suaikan saya sangat tidak bisa membayangkan
akan seperti apa kira-kira bunyinya?
Suatu hari Bunda
Nursulasikin Murpratomo, mantan menteri dalam kabinet Pak Harto, Pak
Habibie dan Bu Mega, sempat silaturrahim ke Nurul Haramain, dengan
meyakinkan beliau mengatakan bahwa kecintaan Pak Harto kepada Bangsanya
sungguh luar biasa, sampai-sampai beliau membikin embrional
ranch/peternakan bernama Tapos untuk menyaingi “peternakan uang” para
kolonialis yang bernama Davos itu. Tapi Bangsa ini juga memutuskan untuk
melengserkannya. Sanggupkah kita menerima resiko pilihan kita itu?
Jelasnya tidak sebab akhir-akhir ini apa yang dulu mampu diberikan Pak
Harto sampai-sampai menginginkannya saja kita sangat malu. Penghargaan
dari bangsa lain misalnya.
Kita kerap membaca banyak sekali
opini yang mengagumi Singapura, tapi ingatkah kita pada prinsip Lee Kwan
You yang mengomentari penembakan ratusan Mahasiswa di Tian Anmen,
seperti katanya: Kalau Deng harus membunuh seratus orang untuk menjamin
kondusifitas pembangunan China, maka saya tidak ragu-ragu akan menembak
seratus atau dua ratus ribu orang untuk tujuan yang sama.
Bangsa China dan Singapura menentukan pilihan mereka dan kita mengagumi
hasil yang mereka capai. Kita pantang memilih cara Deng Xioping dan Lee
Kwan Yeow tapi kita sendiri sepertinya sudah memilih jalan yang tidak
benar sehingga setelah 14 tahun bereformasi essensi teriakan dipuncak
gedung DPR MPR, 1998 tidak terlihat gelagat keberhasilannya.
Ah ah ah, betapa pedihnya ya Allah menemukan diri kami menjadi anak
sebuah bangsa yang melilit dan melinting dirinya sendiri dengan
pilihan-pilihan yang justru menjerat diri sendiri.
Fritz
Vollrath dan Edward Tillinghast menjelaskan juga bahwa sering dipergoki,
laba-laba keliru melangkah dan terjerat atau jatuh juga dari rumahnya.
Oleh sebab itu jangan kita membangun rumah beresiko seperti laba-laba
karena sesungguhnya itulah kerapuhan terencana.
Ya Allah...kami
sedang mencari alat pemotong yang mengikat dan melilit ketat semangat
kami, pada apa dan dimanakah Engkau meletakkannya?
No comments:
Post a Comment