A BIG WELCOME FROM WARSYI

selamat datang di blog LADESTA,,,,,,,,,,,,,,,
ini adalah salah satu blog Alumni PP. Nurul Haramain NW Narmada
maaf jika dalam blog ini banyak kekurangan dan belum sempurna,,,,,,

Friday, June 1, 2012

MANUSIA INDONESIA DAN LABA LABA

oleh    : TGH. Hasanain Juaini

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Saya yakin, ketika Stan Lee dan Steve Ditko menulis bareng2 novel mereka “Characters” tidak tercuil maksud untuk menginspirasi Sam Raimi, sutradara film Spiderman yang menggemparkan dunia dan memaksa Academy Award memberinya anugerah. Cantolannya saya kira hanya satu, karena di dalam “Characters” ada disebutkan sejenis sifat manusia yang seperti laba-laba. Sejenis karakter penuh kejelian, kecermatan, kesabaran namun penuh tipu daya dan selalu menyediakan pit rescue celah penyelamat untuk dirinya sendiri.

Al-Qur’an, seperti biasanya terhadap sesuatu yang amat sangat dipentingkan manusia, selalu mengapresiasinya, maka kita temukan ada surah khusus yang bernama “Surat Al-Ankabuut” alias si laba-laba.

Belakangan ilmu pengetahuan modern melalui tangan dua orang ahli Biologi : Fritz Vollrath dan Edward Tillinghast meneliti seluk beluk serat sutra yang dihasilkan oleh laba-laba, dari sini lalu ditiru kandungan zat benag laba-laba dan akhirnya dihasilkanlah benang kevlar kemudian muncul ban panzer anti peluru dan direkayasa juga baju anti peluru.

Pernahkah kita bertanya mengapa rumah laba-laba bisa menjerat mati serangga lain tetapi pemiliknya aman-aman saja? Dia bikin jerat tapi tak terjerat, sedangkan bangsa Indonesia membuat undang-undang tapi mereka sendiri terjerat?

Fritz Vollrath dan Edward Tillinghast menjelaskan bahwa laba-laba menyediakan beberapa utas benang yang tidak mengandung lem/perekat sebagai jalur khusus berlalu lalang. Laba-laba meninggalkan suatu area tanpa perekat sebagai tempat menunggu mangsa dan beristirahat. Dia juga melumuri ujung kaki-kaki berbulunya dengan sejenis minyak peng-imun.

Kini mari kita perhatikan Bangsa kita ini. Mula-mula kita dengan alasan patriotisme memilih untuk merebut kemerdekaan dan tak sudi diberi-kasih, jadi ini lebih patriotik ketimbang negara-negara tetangga kita yang commonwealth. Bung Karno bilang, kita pilih memerdekakan diri dan semua resikonya akan kita jalani kemudian. Itulah kalimat yang muncul di dalam text Proklamasi yang selalu dengan gagah dan lantang diteriakkan . . . .”hal hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jika saja Bung Karno melihat situasi kekinian Bangsanya ini, pasti beliau akan mengamuk atau mencabut saja bunyi text itu. Jika bunyinya diubah-suaikan saya sangat tidak bisa membayangkan akan seperti apa kira-kira bunyinya?

Suatu hari Bunda Nursulasikin Murpratomo, mantan menteri dalam kabinet Pak Harto, Pak Habibie dan Bu Mega, sempat silaturrahim ke Nurul Haramain, dengan meyakinkan beliau mengatakan bahwa kecintaan Pak Harto kepada Bangsanya sungguh luar biasa, sampai-sampai beliau membikin embrional ranch/peternakan bernama Tapos untuk menyaingi “peternakan uang” para kolonialis yang bernama Davos itu. Tapi Bangsa ini juga memutuskan untuk melengserkannya. Sanggupkah kita menerima resiko pilihan kita itu? Jelasnya tidak sebab akhir-akhir ini apa yang dulu mampu diberikan Pak Harto sampai-sampai menginginkannya saja kita sangat malu. Penghargaan dari bangsa lain misalnya.

Kita kerap membaca banyak sekali opini yang mengagumi Singapura, tapi ingatkah kita pada prinsip Lee Kwan You yang mengomentari penembakan ratusan Mahasiswa di Tian Anmen, seperti katanya: Kalau Deng harus membunuh seratus orang untuk menjamin kondusifitas pembangunan China, maka saya tidak ragu-ragu akan menembak seratus atau dua ratus ribu orang untuk tujuan yang sama.

Bangsa China dan Singapura menentukan pilihan mereka dan kita mengagumi hasil yang mereka capai. Kita pantang memilih cara Deng Xioping dan Lee Kwan Yeow tapi kita sendiri sepertinya sudah memilih jalan yang tidak benar sehingga setelah 14 tahun bereformasi essensi teriakan dipuncak gedung DPR MPR, 1998 tidak terlihat gelagat keberhasilannya.

Ah ah ah, betapa pedihnya ya Allah menemukan diri kami menjadi anak sebuah bangsa yang melilit dan melinting dirinya sendiri dengan pilihan-pilihan yang justru menjerat diri sendiri.

Fritz Vollrath dan Edward Tillinghast menjelaskan juga bahwa sering dipergoki, laba-laba keliru melangkah dan terjerat atau jatuh juga dari rumahnya. Oleh sebab itu jangan kita membangun rumah beresiko seperti laba-laba karena sesungguhnya itulah kerapuhan terencana.

Ya Allah...kami sedang mencari alat pemotong yang mengikat dan melilit ketat semangat kami, pada apa dan dimanakah Engkau meletakkannya?

Wassalam, Narmada 2 Juni 2012.

No comments:

Post a Comment