A BIG WELCOME FROM WARSYI

selamat datang di blog LADESTA,,,,,,,,,,,,,,,
ini adalah salah satu blog Alumni PP. Nurul Haramain NW Narmada
maaf jika dalam blog ini banyak kekurangan dan belum sempurna,,,,,,

Monday, June 4, 2012

SECARIK SYAIR YANG TERLUPAKAN

Oleh   : TGH. Hasanain Juaini




Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Derai air mata yang berhamburan ketika makanan dan minuman berlimpah ruah adalah tangisan cengeng yang tak pantas digubris. Isak tangis ketika pintu dan jalan terbuka lebar adalah rintihan pungguk merindukan bulan. 

Tapi ketika dada berdegup, jantung terpacu dan darah mendesir karena membayang sosok pemuda gagah perkasa, penuh keberanian tak memiliki rasa gentar dan sendirian menantang musuh, maka saat itu, air mata adalah butiran air keimanan yang akan menyuburkan benih baru dari pohon perjuangan. Tangis jenis inilah, diringi air mata yang menitik dari wajah bijak bestari seorang penyair besar kita, Ali At-Thontowy.

Makna syair itu baginya begitu dalam karena yang menulisnya adalah pelaku sejarahnya sendiri. Seorang pemuda Granada bernama Musa al Ghassany. Abu Ghassan, sang ayah, memang memberi nama putranya itu ‘Musa’ agar kelak dia menjadi Belati Tajam, seperti arti namanya itu.

Membaca Sejarah Granada, imajinasi kita akan melayang melihat wajah yakin dan berani panglima Musa bin Nushoir yang memimpin pasukannya membelah laut hitam dan laut mati, laut yang tak banyak manusia berani mengarunginya. Puncaknya, khayal kita akan menerawang kepada sosok panglima yang diutus Musa Bin Nushoir yaitu Thoriq bin Ziad yang kemudian dengan gemilang menuntaskan tugasnya mendekap Spanyol (711 M) dalam rangkulan sejarah peradaban Islam.

Sejarah juga mencatat dengan baik, ketika Abdurrahman Ad-Dakhil yang saat itu menjadi seorang pemuda pelarian, berhasil mengarungi sahara ganas irak, melintasi gurun Syria menuju Palestina. Kemudian menyeberangi gurun Sinai ke Mesir, lalu melewati beberapa wilayah Afrika menuju Andalusia (Spanyol) yang telah ditaklukkan oleh nenek moyangnya dari Dinasti Umayyah. Mula-mula ia datang sebagai mata-mata. Saat dia berdiri di Kota Granada, hari itu juga dia membisiki hatinya: “disini nanti kita akan mendirikan Masjid”. Dia merebut kembali Spanyol (755 M) hanya sebulan jaraknya dari saat dia masuk pertama kali itu.

Tapi kali ini kita tidak akan membicarakan kisah sukses. Kita akan menjelajahi bathin penyair kita “Adnan Mardim Bek”. Adnan seperti gurunya Ali At-Tonthowy tidak menangis denan sembarang tangis, tapi karena sejarah lupa mencatat mutiara-mutiara dan zamrud manikam yang tertimbun oleh lumpur peristiwa Jatuhnya Granada (1492). Penyair ini meratap dan melekatkan lembaran kecil syair Musa Al Ghassan dalam dekapannya dan berucap:

Pahlawan sejati itu lahir 
Tidak di meja makan
Tidak pula di katil pengantin
Tapi diatas amuk derita tak terperi.
Malam gelap gulita, 
2 januari 1492
Bumi akan membaiat
Seorang pahlawan sejati

Bulan Juli 1491, Raja Ferdinand V telah mengepung Granada. Ia berhasil menguasai kota Malaga-kota pelabuhan terkuat di Andalusia, lalu Guadix dan Almunicar, Baranicar, dan Almeria. Tujuh bulan sudah masa pengepungan itu; Bantuan dari Bagdad, Damaskus, Mesir dan Afrika sudah tidak mungkin diharapkan. kini yang tersisa hanya basis kerajaan Bani Ahmar, Granada. Ratusan ribu tentara dan rakyat jelata sudah menjadi korban, puluhan kota ratusan Desa dengan masjid dan kuburan diratakan dan telah menjadi bara dan abu.

Malam ini, tepatnya 2 Januari 1492 M/2 Rabiul Awwal 898 H. Khalifah terakhir Bani Ahmar, Abu Abdillah. Mengumpulkan sisa-sisa penduduk muslim di halaman Istana Alhambra untuk membahas ultimatum Ferdinand yang hanya berisi dua opsi: menyerah atau mati. 

Khalifah dan semua para pembesar Bani Ahmar bersepakat untuk menyerah dan kini hanya perlu membahas bagaimana proses penyerahan itu. Pada saat genting dan menciutkan nyali itu, berdirilah seorang pemuda dengan terengah-engah, karena dia baru kembali dari tugas pengintaian, dengan lantang diteriakkannya syair yang kini kutipannya ada di tangan Penyair Adnan Mardin Bek itu:

Pantang kubersujud
Untuk secarik naskah perjanjian
Yang merendahkan martabatku

Apa alasanku untuk takut?
Bukankah mati hanya satu
Cepat atau lambat?

Tidak...tidak sudi
Aku ingin menulis sejarah kematianku
Dengan tanganku sendiri

Aku ingin menjadi pedang
Aku harus menjadi tombak
Sekaligus kuda yang menerjang terjang

Aku takkan sudi
Meniti hidup dan ajalku 
Untuk sekedar menjadi budak.

Aku ingin menjadi tuan
Mati sebagai tuan lebih mulia
Daripada mati membungkukkan badan.

Itulah sesuatu, yang tersisa dari apa yang bisa dicatat dari Musa Al-Ghassan yang setelah mengucapkan syairnya lalu menderu menyongsong musuh dan tiada yang tahu apa yang terjadi setelah itu. Nyawanya boleh melayang, jasadnya bisa dilenyapkan tapi semangatnya harus tetap menjadi bara api yang seharusnya membakar semangat perlawanan membela martabat dan harga diri.

Wallahu aklam Bisshowab
Narmada, 3 Juni 2012.

No comments:

Post a Comment